Ilustrasi KH Mas Mansoer.
K.H. Mas Mansoer mendalami ilmu agama di Mekkah dan Kairo. Di sana, ia menyaksikan geliat nasionalisme bangsa-bangsa Arab dan berusaha menumbuhkan semangat itu sepulangnya ke tanah air.
Suatu siang di tanah suci, seorang lelaki Arab membawa Mansoer ke lahan yang cukup luas, pemandangannya indah, berhawa segar berkat keberadaan beberapa pohon di sekitarnya, juga menyejukkan mata dengan rumput hijau yang menghampar, ditambah syahdunya gemericik air yang mengalir dari sebuah sungai kecil.
Dengan nada bangga, si orang Arab menyebut tempat tersebut dengan istilah junainah yang berarti surga mungil.
Mansoer tersenyum simpul mendengarnya. Ia paham maksud temannya itu. Di kawasan Timur Tengah yang sebagian besar wilayahnya berupa gurun pasir nan gersang, tempat itu memang seperti oase, bahkan kiranya tidak berlebihan jika diibaratkan macam surga.
Kepada rekannya yang warga Mekkah tersebut, Mansoer berucap lembut, tentunya tanpa bermaksud menyombongkan diri, “Dengan tanah air saya (Indonesia), ini bukan tandingannya.”
Beberapa tahun berselang, ada lagi kejadian serupa. Kali ini di Mesir saat Mansoer menempuh kuliah di Universitas Al-Azhar, Kairo. Seperti dikisahkan Darul Aqsha dalam Kiai Haji Mas Mansur 1896-1946: Perjuangan dan Pemikiran (2005), Mansoer tergelitik setelah mendengar syair yang melukiskan keindahan dan kemakmuran negeri yang pernah diperintah Firaun juga Cleopatra itu.
“Mesir tanah airnya emas. Perempuan-perempuannya elok rupawan,” begitu bunyi nukilan syair tersebut.
“Di mana tanahnya emas? Pemandangan yang saya lihat dari semenjak Suez sampai Kairo hanya padang pasir yang tandus,” seloroh Mansoer.
Mansoer juga mempertanyakan ungkapan tentang Sungai Nil yang oleh orang Mesir disebut sebagai “sungai pembawa bahagia bermata air dari surga.”
Dalam hati, Mansoer bergumam, “Kalau saja mereka melihat sungai-sungai yang ada di tanah air, mereka tentu akan memberikan gelaran yang lebih dari itu” (hlm. 29).
Orang Indonesia bernama Mansoer ini tidak lain adalah K.H. Mas Mansoer. Ia adalah pejuang pergerakan nasional yang nantinya turut berperan dalam mewujudkan kemerdekaan RI, serta salah satu tokoh Empat Serangkai selain Soekarno, Mohammad Hatta, dan Ki Hadjar Dewantara.
Prihatin di Negeri Orang
Mansur masih terbilang bocah saat sang ayah, K.H. Mas Achmad Marzoeqi, ingin memberangkatkannya ke Mekkah untuk berhaji pada 1908. Ayahanda Mansoer adalah ulama terpandang yang mengampu tugas terhormat sebagai imam tetap sekaligus khatib Masjid Ampel di Surabaya.
Ditilik dari namanya yang disertai embel-embel “mas”, keluarga Mansoer memang cukup lekat dengan status ningrat Jawa. Menurut M. Yunan Yusuf dalam Ensiklopedi Muhammadiyah (2005), ayahanda Mansoer masih keturunan keraton Sumenep di Madura atau termasuk golongan bangsawan Astatinggi (hlm. 223).
Sementara dari ibunya, Raudhah, mengalir darah dari keluarga besar Pesantren Sidoresmo Wonokromo di Surabaya. Mas Mansoer lahir di Surabaya pada 25 Juni 1896. Semasa kecil, ia sudah diajarkan ilmu-ilmu agama, baik dari ayahnya maupun belajar di pesantren milik keluarga ibunya.
Ilmu tentang keislaman yang diperoleh Mansoer bertambah mantap setelah ia dikirim ke Madura pada 1906 ketika umurnya menginjak 10. Dua tahun berselang, Mansoer pulang ke Surabaya, dan sang ayah menghendaki putranya itu untuk pergi haji ke tanah suci sekaligus untuk menetap sementara demi memperdalam ilmu agama.
Seperti diungkap Sutrisno Kutoyo dalam Kyai Haji Mas Mansur (1981), Mansoer yang masih berumur 12 pun berangkat ke tanah suci. Setelah menunaikan haji, ia belajar di Mekkah selama 4 tahun sebelum harus pindah karena semakin tidak kondusifnya situasi politik di jazirah Arab kala itu.
Dari Mekkah, Mansoer berniat hijrah ke Kairo dan mengabarkan kepada keluarga di Surabaya lewat surat. Dalam surat balasan, sang ayah menyatakan tidak setuju Mansoer ke Mesir lantaran beranggapan negara di Afrika Utara itu bukan tempat yang baik untuk belajar. Kairo, tulis ayah Mansoer, adalah kota yang hanya cocok untuk pelesiran dan berbuat maksiat. Ia khawatir anaknya bakal terjerumus dalam kehidupan seperti itu.
Namun, Mansoer nekat. Kali ini ia terpaksa tidak menuruti kehendak ayahnya. Ia berangkat ke Mesir dengan menumpang kapal laut dan akhirnya diterima di Fakultas Agama Universitas Al-Azhar. Di Kairo, Mansoer tinggal di asrama mahasiswa Melayu yakni Ruaq Al-Malayu.
Mansoer hidup prihatin di Mesir. Lantaran dianggap melanggar perintah ayahnya, ia tidak lagi dikirimi uang untuk membayar kuliah, membeli buku, dan tentunya untuk bertahan hidup. Mansoer sering berkeliling dari masjid ke masjid, membersihkan rumah ibadah itu, hanya agar memperoleh sedikit uang atau makanan. Selain itu, ia rutin berpuasa Senin-Kamis.
Hampir setahun lamanya hidup prihatin di negeri orang, Mansoer akhirnya lega. Hati sang ayah mulai terketuk dan mengirimkan uang kepadanya rutin setiap bulan.
Ulama Cinta Tanah Air
Ketika Mansoer meninggalkan tanah air pada 1908, bangsa-bangsa di Asia yang sebagian besar masih terjajah sedang giat-giatnya mengobarkan rasa kebangsaan dengan munculnya berbagai macam perhimpunan. Ini berlaku pula di Indonesia, termasuk dengan lahirnya Boedi Oetomo (BO) di Jakarta pada 20 Mei 1908.
Mansoer pun langsung menceburkan diri ke ranah pergerakan nasional sepulangnya dari Mesir. Ia bergabung dengan organisasi rakyat terbesar di Indonesia pada dekade kedua abad ke-20 itu, yakni Sarekat Islam (SI) pimpinan Hadji Oemar Said (H.O.S.) Tjokroaminoto.
Kebetulan, Mansoer dan Tjokroaminoto sama-sama orang Surabaya. Tjokroaminoto pun menyambut bergabungnya Mansoer dengan senang hati karena SI kini memperoleh tambahan sumber daya yang mumpuni: seorang anak muda yang cerdas dengan ilmu agama tinggi, lulusan Mekkah dan Kairo.
Mansoer sangat antusias bergabung Sarekat Islam. Ia menyaksikan sendiri semangat nasionalisme yang sedang merekah di Timur Tengah, terutama di Mesir. Mansoer ingin menularkan spirit itu kepada umat Islam dan rakyat di tanah air, bahwa, seperti yang juga diserukan Tjokroaminoto, bangsa Indonesia harus terlepas dari belenggu penjajahan.
Di Surabaya, Mansoer dan beberapa tokoh lainnya membentuk Tashwirul Afkar, suatu majelis diskusi di kalangan kaum muda Islam. Aktivitas di Tashwirul Afkar—yang kerap mendiskusikan soal nasionalisme—menjadi bentuk kecintaan Mansoer kepada bangsanya jauh sebelum kemerdekaan RI tercapai.
Selain itu, Mansoer juga bergerak bersama Muhammadiyah. Sepulang dari Mesir, ia tak langsung ke Surabaya, melainkan menuju Yogyakarta untuk menemui Kiai Haji Ahmad Dahlan, sang pendiri Muhammadiyah.
Mansoer memang mengagumi sosok dan pemikiran Ahmad Dahlan yang juga pernah belajar di Mekkah. Ternyata sang pencerah adalah sahabat ayahnya.
“Waktu itu saya datang kepada beliau dan memperkenalkan diri. Baru saja berkenalan, hati tertarik, baru saja keluar kata lemah lembut dari hati yang ikhlas, hati pun tunduk,” kenangnya saat pertama kali berjumpa dengan Ahmad Dahlan.
Kiprah Mansoer di Sarekat Islam maupun Muhammadiyah cukup menjanjikan. Di SI, ia dipercaya sebagai penasihat pengurus besar, sejajar dengan tokoh-tokoh lainnya macam Haji Agus Salim, Abdul Muis, juga Ahmad Dahlan.
Di Muhammadiyah, Mansoer menapaki jenjang karier dengan mulus. Dari Ketua Cabang Muhammadiyah Surabaya, Konsul Muhammadiyah Wilayah Jawa Timur, hingga terpilih sebagai Ketua Umum Muhammadiyah dalam kongres di Yogyakarta pada 1937, seperti dikutip dari buku Wajah dan Perjuangan Pahlawan Nasional (2008) terbitan Departemen Sosial RI.
Mansoer beserta Ki Bagoes Hadikoesoemo dan tokoh-tokoh muda lainnya menjadi bagian dari gerbong pembaharu dalam kepengurusan Muhammadiyah masa itu yang didominasi generasi tua sepeninggal Ahmad Dahlan yang wafat pada 1923.
Wafat dalam Tahanan
Tak lama setelah terpilih sebagai Ketua Umum Muhammadiyah pada 1937, Mansoer turut membidani terbentuknya Majelis Islam A'la Indonesia (MIAI) bersama para pimpinan organisasi Islam lainnya, termasuk Hasyim Asyari dan Wahab Hasboellah dari Nahdlatul Ulama (NU).
Pada periode yang sama pula, Sarekat Islam—yang sejak 1923 menjelma menjadi partai politik—mengalami perpecahan setelah wafatnya Tjokroaminoto pada 1934. Menurut Slamet Muljana dalam Kesadaran Nasional, dari Kolonialisme sampai Kemerdekaan (2008), lantaran berbeda pandangan dengan orang-orang pusat, Mansoer terpaksa hengkang. Ia kemudian mendukung Soekiman Wirjosandjojo membentuk Partai Islam Indonesia (hlm. 160).
Memasuki masa pendudukan Jepang seiring menyerahnya Belanda pada 1942, pamor K.H. Mas Mansoer semakin melambung. Ia termasuk tokoh nasional yang diperhitungkan pemerintah militer Jepang selain Soekarno, Mohammad Hatta, dan Ki Hadjar Dewantara. Mereka inilah yang kemudian dijuluki Empat Serangkai.
Menjelang kekalahan Jepang dari Sekutu dalam Perang Asia Timur Raya, K.H. Mas Mansoer terpilih sebagai anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Hingga akhirnya, Soekarno-Hatta atas nama bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1945.
Namun, tak lama berselang, Belanda datang lagi dengan membonceng Sekutu dan ingin berkuasa kembali. Mansoer pulang ke Surabaya untuk turut berjuang mempertahankan kemerdekaan di tanah kelahirannya, meskipun dalam kondisi sakit.
Tanggal 10 November 1945, pecah pertempuran di Surabaya. Bung Tomo berperan sebagai pengobar semangat arek-arek Surabaya di medan perang, sementara K.H. Mas Mansoer bergerak dari balik layar dan kerap dikunjungi para pejuang yang hendak meminta nasihat.
Hingga suatu hari, pasukan Sekutu dan Belanda menyerang Surabaya bagian utara, tempat di mana Mansoer tinggal. Di tengah desingan peluru, Mansoer tetap bertahan di rumahnya. Kondisi raga yang sakit tidak memungkinkannya untuk melawan secara frontal.
Mansoer pun ditangkap dan dibui di penjara Kalisosok. Di balik terali besi, kesehatannya semakin menurun. Pada 25 April 1946, tepat hari ini 72 tahun lalu, K.H. Mas Mansoer mengembuskan napas penghabisan. Sang bapak bangsa, ulama, pejuang, sekaligus negarawan ini wafat sebelum usianya memasuki setengah abad. Pemerintah RI kemudian menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional.
Sumber: tirto.id
No comments:
Write komentar